Bergerak

Rambu-Rambu Kehidupan Bermasyarakat

dakwatuna.com – Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari shahabat Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma, Rasulullah saw bersabda,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang teguh menjalankan ajaran Allah dan tidak melanggar ajaran-ajaran-Nya dengan orang yang terjerumus dalam perbuatan melanggar ajaran Allah, adalah bagaikan satu kaum yang melakukan undian dalam kapal laut. Sebagian mendapat jatah di atas dan sebagian lagi mendapat jatah di bawah. Penumpang yang berada di bawah, jika mereka hendak mengambil air, mereka harus melewati penumpang yang berada di atas. Lalu mereka berkata, “Seandainya kita lobangi saja kapal ini, maka kita dapat
mengambil air tanpa mengganggu penumpang di atas. Jika perbuatan mereka itu mereka biarkan, maka semuanya akan binasa. Namun jika mereka mencegahnya, maka semuanya akan selamat.” (Shahih Bukhari, no. 2493)
Sebagai makhluk sosial, hidup bermasyarakat adalah perkara yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini. Tentu dengan segala konsekwensi yang terdapat di dalamnya.; Adanya berbagai problem dalam kehidupan bermaysrakat bukan merupakan alasan bagi seseorang untuk menghindar, lalu menarik diri untuk bergaul di tengah masyrakatnya. Selain hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang mengabaikan kebutuhan fitrah manusia, sifat tersebut juga boleh dikatakan sebagai bentuk lari dari tanggung jawab.
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup membaur di tengah msyarakatnya dan sabar menghadapi berbagai konseksenwensi yang harus ditanggungnya.
Rasulullalh saw bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ، أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لا يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَلا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mu’min yang bergaul di tengah masyarakatnya dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari mu’min yang tidak berbaur dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Bihaqi. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 939)
Karenanya ajaran Islam telah banyak membekali kita dengan seperangkat ajaran tentang bagaimana kita menempatkan diri dengan tepat di tengah masyarakt.
Salah satu hadits yang memberikan pelajaran penting tentang hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas.
Baik tersurat maupun tersirat, hadits di atas memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada kita sebagai bekal untuk memahami posisi dan apa yang seharusnya kita sikapi terhadap persoalan kemasyarakatan. Di antaranya;
1. Hidup ini bagaikan mengarungi samudera bersama-sama dalam perahu besar.
Maka setiap kita memiliki andil dalam menjaga keselamatan bersama. Kebebasan individu hendaknya terbingkai dengan kemaslahatan umum. Karena itu, dalam Islam, kualitas pribadi seseorang sering dikaitkan dengan kualitas sosialnya. Misalnya dalam sebuah hadits yang cukup terkenal Rasulullah saw mengaitkan kualitas keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan ucapannya, serta kebaikan terhadap tamu dan tetangganya (Muttafaf alaih).
Hal ini pada gilirannya menuntut kita untuk selalu berupaya menjadi unsur positif dalam kehidupan masayarakat setelah kebaikan indvidu. Istilahnya adalah kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.
2. Kebaikan dan Keburukan selalu ada di tengah masyarakat
Selama masyarakat itu terdiri dari manusia, maka kedua hal tersebut merupakan sunnatullah dalam kehiduan ini, kapan saja dan dimana saja. Bahkan pada masa generasi terbaik sekalipun.
Khusus mengenai keburukan, saking kuatnya Allah hendak menegaskan perkara ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa jika di suatu kaum tidak ada yang berbuat dosa, Allah akan mengganti mereka dengan kaum lain yang berbuat dosa. Agar tampak salah satu keagungan Allah Ta’ala sebagai Maha Pengampun.
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi yang jikwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak ada yang berdosa, Allah akan gantikan kalian dengan kaum yang berdosa, lalu mereka bersitghar kepada Allah kemudian Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 7141)
Namun tentu saja penyikapannya harus berbeda. Kebaikan selain merupakan sunnatullah, dia pun merupakan sesuatu yang di sukai-Nya. Berbeda dengan keburukan, meskipun dia merupakan sunnatullah, namun dia tidak disukai-Nya. Karena itu kita harus selalu berusaha berada di pihak kebaikan dan menjadikannya sebagai perkara yang dominan di tengah msyarakat.
Sedangkan keburukan, jika hal tersebut ada pada orang lain, dia adalah kesempatan bagi kita untuk berbuat baik dengan mengajaknya pada jalan kebaikan. Adapun jika dia ada pada diri kita, itu adalah kesempatan bagi kita untuk bertaubat dan mohon ampunan kepada Allah. Betapa Allah Ta’ala sangat senang dengan hamba-Nya yang suka mengajak kebaikan dan bertaubat kepada-Nya.
Adanya keburukan di tengah masyarakat, sebesar apapun pengaruh-nya, jangan dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) atas keburukan tersebut.
3. Pentingnya membangun komunikasi yang sehat.
Para penumpang yang berada di geladak kapal tentu tidak hrus mengambil keputusan seperti itu, kalau mereka mampu mengkomunikasi-kannya dengan penumpang yang berada di atas. Begitu pula halnya jika penumpang yang di atas tanggap dan komunikiatif dengan kebutuhan dan keinginan penumpang yang di bawah.
Banyak sekali permasalahan yang muncul akibat tersumbatnya komunikasi. Mulai dari kesalahpahaman hingga pertikaian. Permasalah ini berlaku baik dalam ruang lingkup kecil seperti keluarga maupun ruang lingkup yang lebih besar seperti bermasyarakat dan bernegara. Komunikasi lebih dibutuhkan dalam hubungan lintas lapisan; Tua-muda, atasan–bawahan, pejabat-rakyat, kaya-miskin, antara suku, antara pemeluk agama, dll. Karena kalau dalam satu lapisan saja komunikasi yang tersumbat dapat mengakibatkan problem, apalagi jika berbeda lapisan.
Sebagai seorang muslim kita diajarkan untuk banyak berkomunikasi. Justeru inilah yang menjadi salah satu hikmah mengapa kita diciptakan berbeda-beda suku bangsa (Al-Hujurat: 13). Dari sini pula kita dapat memahani betapa Islam sangat menganjurkan kita untuk mengucapkan salam, bersiltarrahim bahkan berdialog kepada orang kafir. Sebaliknya, Islam mengecam tindakan memutus silturrahim sebagai wujud dari meniadakan komunikasi.
Maka, hendaknya kita suka mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginan, perasaan, keyakinan dan sikap-sikap kita. Sebaliknya kita juga harus dapat menyerap keinginan, perasaan, keyakinan dan sikap-sikap pihak lain. Dari sana kita harapkan ada kesepahaman dan langkah bersama dalam menyikapi beberapa persoalan di tengah masyarakat.
Dalam Al-Quran dan sirah Rasululah saw, kita banyak mendapatkan bagaimana komunikasi tersebut dibangun sehingga lahir kesepahaman. Kita dapat membaca bagaimana komunikasi antara para nabi dengan umatnya ketika mereka mendakwahkan ajaran Allah Ta’ala. Bahkan di sana ada dialog antara Nabi Sulaiman dengan burung Hud-hud, Nabi Ibrahim dengan puteranya Ismail, juga antara Rasulullah dengan para shahabatnya, bahkan juga terhadap orang kafir yang memusuhinya.
4. Pelanggaran kecil dapat memicu bencana besar. Bencana besar selalu diawali dengan pelanggaran kecil.
Segala sesuatu biasanya bermula dari perkara kecil atau yang kita anggap kecil. Termasuk dalam masalah pelanggaran. Pelanggaran kecil jika kita biarkan terus menerus akan membesar. Hal ini Rasulullah saw tamsilkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, bagaikan orang yang mengumpulkan sebatang demi sebatang kayu bakar yang lama kelamaan dapat menjadi tungku api.
Karena itu beliau berpesan.
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ
“Hendaknya kalian menghindari dosa-dosa sepele.” (HR. Ahmad. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 3102)
Ibnu Qoyim memberikan kita resep untuk menghindar dari pelanggaran sejak kesempatan pertama benih pelanggran itu muncul, yaitu ketika masih berupa lintasan pikiran. Beliau berkata dalam kitabnya, Al-Fawaid, hal. 31.
دَافِعْ الْخَطْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ فِكْرَةً ، فَدَافِعْ الْفِكْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ شَهْوَةً ، فَحَارِبْهَا، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ عَزِيْمَةً وَهِمَّةً ، فَإِنْ لَمْ تُدَافِعْهَا صَارَتْ فِعْلاً ، فَإِنْ لَمْ تَتَدَارَكْهُ بِضِدِّهِ صَارَ عَادَةً فَيَصْعُبُ عَلَيْكَ الاِنْتِقَالُ عَنْهَا
“Usirlah lintasan pikiran (buruk), sebab jika tidak engkau cegah, dia berubah menjadi pemikiran. Cegahlah pemikiran (buruk), jika tidak engkau halau, dia akan berubah menjadi syahwat. Perangilah (syahwat buruk), sebab jika hal itu tidak engkau lakukan, dia akan berubah menjadi tekad kuat (azimah) dan keinginan besar (himmah). Jika tidak juga engkau cegah, maka dia akan berubah menjadi sebuah perbuatan. Lalu jika engkau tidak lakukan langkah penangkalnya, dia akan menjadi kebiasaan. Dan ketika itu, sulit bagimu meninggalkannya.”
5. Solusi instan tidak akan menyelesaikan masalah.
Para penumpang kapal yang di bawah berpikir sederhana, jika mereka lobangi kapal, maka problem kekurangan air akan segera teratasi. Di sini sangat tampak betapa mencari silusi instan bagi sebuah problem tidak akan menyelesaikan masalah.
Sunnatullah dalam kehidupan manusia bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui tahapan-tahapan dalam sebuah proses. Karena itu, dalam hal apa saja, apakah urusan dunia ataupun urusan agama, mengabaikan tahapan-tahapan yang seharusnya dilewati, secara umum akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan terhadap ciptaan Allah. Perhatikanlah dampak buruk dari prilaku orang yang ingin sehat, pintar, kaya, populer, meraih jabatan, namun ditempuh dengan cara instan. Kalau dampaknya sebatas individu mungkin masih ringan, tapi jika dampaknya berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat, maka problem-nya kian terasa berat.
Islam telah mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam solusi instan dengan memerintahkan bersabar, mengikuti tahapan-tahapannya, mencari sebab akibat yang dapat dipercaya, mecari solusi yang integral dalam sebuah sistem, serta meyakini bahwa akhir lebih baik dari permulaan. Penderitaan di awal namun di akhiri dengan kebahagiaan jelas lebih baik dari kesenangan di awal namun akhirnya menderita.
6. Pentingnya menjadi unsur perbaikan di tengah masyarakat
Rasulullah saw mengisyaratkan dalam hadits di atas, apabila tindakan penumpang di bawah yang ingin melobangi kapal tidak dicegah, maka bencana akan menimpa semua penumpang, sedangkan jika dicegah, maka semuanya akan selamat.
Siapapun kita, semuanya dituntut untuk memiliki andil dalam menjaga kehidupan bermasyarakat yang kondusif bagi nilai-nilai kebaikan. Salah satunya adalah dengan berperan menebar kebaikan dan pencegah kemunkaran.
Jadilah kita seperti orang disinyalir Rasulullah saw.
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya ada orang yang menjadi kunci pembuka bagi kebaikan dan kunci penutup bagi keburukan. Namun ada juga yang menjuadi kunci pembuka bagi keburukan dan kunci penutup bagi kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci kebaikan ada di tangannya, dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci keburukan ada di tangannya.” (HR. Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 3986)
Jika kita belum merasa mampu untuk mencegah kemungkaran dalam ruang lingkup yang lebih besar, cegahlah dalam ruang lingkup yang kita mampu. Di keluarga misalnya, tentu dengan adab-adab yang berlaku. Atau paling tidak, kita harus mempertegas sikap bahwa kita berada di pihak kebenaran. Sebab, hal itu besar peranannya dalam menambah bobot kebenaran untuk menghadapi kebatilan.
Fenomena ironis yang kerap terjadi di tengah masyarakat; Pelaku kebatilan dengan bangganya dan percaya diri mempertontonkan kebatilannyau. Bahkan jika ada yang menghujat, mereka siap dengan bantahan-bantahannya walau sekenanya, padahal jumlah merek sedikit. Sementara para pengusung kebaikan, sering malu-mal. Tidak tegas menyatakan sikapnya. Jangan menjadi silent majority (mayoritas diam) terhadap kebenaran. Sebenarnya jumlahnya banyak, namun tidak menyatakan sikapnya. Atau –meminjam istilah politik- menjadi floating mass (massa mengambang). Al-Quran menyebutkan dengan istilah muzabzabin..
مُّذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَؤُلاء وَلاَ إِلَى هَؤُلاء وَمَن يُضْلِلِ اللّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً (سورة النساء: 143)
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antra yang demikian (iman dan kafir); Tidak masuk pada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir).” (QS. An-Nisa: 143)
Seharusnya kita meningkatkan kadar kebaikan kita dari sekedar saleh (orang baik) menjadi muslih (orang yang memperbaiki). Dari sekedar qaabilun lil islah (menerima perbaikan) menjadi anashir ishlah (unsure perbaikan) dari sekedar syakhsyiah Islamiyah (pribadi muslim) menjadi syakhsiah da’iyah (pribadi da’i).
Wallahua’lam.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Rambu-Rambu Kehidupan Bermasyarakat"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top